Era Gombalisasi
Posted Oktober 14, 2008
on:Resensi : Melawan Gombalisasi Global
Oleh : Adolf Posumah, Ketua Bidang Media dan Informatika PLH PKN PDP
Judulnya memang eye-cathing. Begitu menyimak judul, nalar langsung menerka content-nya pasti akan berkaitan dengan sepak-terjang dunia Barat dengan konsep globalisasi yang kini melanda dunia. Lalu apa urusan dengan Gombalisasi?
Nah itu ternyata dijawab secara gamblang dalam bab- 4 sebanyak 13 halaman yang khusus mengurai apa itu gombalisasi global yang diangkat penulis, Laksamana Sukardi, menjadi judul buku.
Istilah gombalisasi yang dikaitkan dengan konsep Global memang bukan hal yang baru. Plesetan globalisasi menjadi ’gombalisasi’ sudah dikemukakan Prof. Mubyarto dalam sebuah tulisannya lima tahun lalu. Pakar ekonomi kerakyatan dari UGM ini antara lain mengutip buku The Globalization of Poverty (Chossudovsky, 1997) yang dengan kritis mengatakan, globalisasi tidak lain merupakan pemecahan masalah kejenuhan pasar negara-negara maju untuk mencari tempat pemasaran atau ’pembuangan’ barang-barang yang sudah mengalami kesulitan di pasar negara industri maju tersebut.
Tetapi yang menarik, uraian penulis dengan memberi contoh ringan tentang cerita ayam goreng KFC. Ayamnya diternak oleh peternak lokal kemudian digoreng dan disajikan oleh orang Indonesia, diantre dan dimakan oleh konsumen Indonesia tetapi pemilik di sini harus membayar royalti kepada orang Amerika karena resep dan sistem menajamennya diciptakan oleh perusahaan Amerika. Contoh yang sama terjadi pada humberger McDonald, dan seterusnya. Begitu juga ketika seorang tukang ojek di kampung mengantarkan penumpang yang orang Indonesia, dengan motor yang pabrikannya berada di indonesia, tetapi yang mendapat uang terbanyak adalah pemilik merek Suzuki, Yamaha dan Honda di Jepang.
Efek ekonomi pasar memang tidak hanya melanda Indonesia, namun juga mancanegara. Pizza-Hut dan Coca-Cola ada di berbagai penjuru dunia. Masalahnya apakah mungkin suatu ketika ayam goreng Mbok Berek bisa terlihat di pojok terminal airport Los Angeles, atau di Newark-New York. Wallahualam !
Penulis ingin menyampaikan bahwa kesejahteraan sebuah bangsa tidak ditentukan oleh berapa banyak kekayaan sumber daya alam yang dipunyai, akan tetapi lebih ditentukan oleh tingginya kecerdasan yang menghasilkan sebuah daya yang tinggi dari sumber manusianya. Pak Laks tidak menggunakan istilah SDM (sumber daya manusia) untuk menerjemahkan human resources, tetapi menggunakan kata ”daya’ untuk menggambarkan sebuah kekuatan sekaligus menghidupkan istilah yang sudah sering kita gunakan yaitu: manusia yang berdaya. Secara umum, digambarkan bahwa manusia Indonesia masih kurang berdaya karena mudah dieksploitasi atau digombali oleh bangsa lain yang sumber manusianya memiliki daya yang lebih tinggi. ( hal 4-5).
Adalah tugas dan tanggungjawab partai politik untuk mengubah kondisi itu. Karena membiarkan lebih dari 100 juta rakyat hidup miskin dan tidak berpendidikan cukup adalah merupakan pelanggaran hak azasi manusia yang serius dan sekaligus melanggar prinsip Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
Ditulis dengan gaya bahasa yang lincah, karena dalam talenta Pak Laks mengalir darah junalistik dari ayahnya ( jurnalis LKBN Antara) selain darah biru pejuang dari beberapa pemannya, maka tak heran uraian tentang kondisi ekonomi dan keterpurukan rakyat yang biasanya ditulis para pakar dengan bahasa akademis yang sukar dipahami, di buku ini penulis menguraikan dengan pemahaman yang mudah dicerna oleh pembaca dengan strata pendidikan yang minim sekalipun.
Yang saya anggap istimewa, buku ini sekaligus merupakan ’buku putih’ sebagai pegangan para kader PDP. Di sekapur sirih, Pak Laks menjelaskan buku ini memang ditujukan untuk memberi bekal kepada seluruh kader Partai Demokrasi Pembaruan dalam memasuki kancah Pemilu. On top of it, karena sarat dengan kiat-kiat praktis bagaimana memberantas kemiskinan yang membalut setengah jumlah penduduk Indonesia, maka alangkah baiknya bila buku kecil ini juga dapat dibaca oleh mereka yang sedang menjadi penyelenggara negara ( para eksekutif, anggota legislatif, dan para penegak hukum).
Pemilu sudah di ambang pintu, sementara roh dan semangat pembaruan yang menjadi ciri PDP tampaknya belum menyebar luas dan merata sampai ke semua kader, utamanya kader-kader yang akan dimajukan ke ajang pemilu legislatif.
Penyakit politisi pada umumnya ialah godaan mental. Sebab itu Pak Laks – barangkali dalam hal ini mengfungsikan diri selaku Koordinator PKN PDP – memberi petunjuk sebagai berikut: Menjadi wakil rakyat bukan bertujuan meningkatkan nafkah dan penghasilan pribadi, tetapi menjadi relawan yang melayani rakyat srta menjadi anak bangsa terpilih untuk memperjuangkan perbaikan nasib rakyat. Satu kalimat ini utuh saya kutip dari halaman 69 yang dicatat Pak Laks dengan goresan huruf tebal.
Artinya, mind-set (sebagian) kader sudah harus diubah secara ekstrim dari persepsi mencari nafkah melalaui parpol ke mentalitas menjadi pelayan untuk memberi nafkah kepada masyarakat. Ini tentu saja bisa menjadi pesan moral kepada para politisi manapun yang sedang dan akan mengemban amanat kepercayaan rakyat. Pejuangkan aspirasi rakyat, bukan kepentingan diri sendiri seperti yang terkesan saat ini.
Perubahan dan pembaruan harus segera terjadi. Buku ini adalah panduannya. Agar supaya ketika ada pertanyaan: Apa yang dilakukan orang-orang yang sangat lapar jika mereka menemukan makanan di hadapan mereka?
Pertanyaan kedua, Jika sekian lamanya seseorang tidak memiliki pekerjaan yang produktif atau menjadi penganggur intelektual, secara mendadak mendapatkan ”kekuasaan”, maka apa yang terjadi? (hal 1-2)
Melalui konsep pembaruan yang dikedepankan PDP, bila pertanyaan tadi menjadi fakta yang harus dihadapi kader-kader PDP di kemudian hari , jawaban yang dikehendaki atas pertanyaan pertama bukanlah : Mari kita lahap beramai-ramai ! Dan jawaban atas pertanyaan kedua bukanlah : Mari kita Korupsi !
Selamat membaca bagi yang belum. Selamat membaca ulang bagi yang baru sekali membaca. Salam pembaruan. Merdeka !